Di era percembangan IPTEK, teknologi seperti smartphone & media sosial semakin berkembang. Perkembangan teknologi ini memudahkan informasi untuk berputar dari berbagai belahan dunia. Hal ini tentunya diikuti oleh masuknya budaya – budaya asing yang kerap mempromosikan materialisme dan hedonisme lewat media sosial. Selain itu, perkembangan IPTEK memudahkan kita untuk berinteraksi tanpa terhalang jarak. Namun ini membawa dampar negatf: interaksi tatap muka berkurang, lebih mengandalkan komunikasi lewat dunia maya. Alhasil, hubungan antar masyarakat menjadi dangkal, masyarakat menaruh kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama, budaya asli Indonesia seperti gotong royong semarin terkikis, digantikan olen budaya individualistis, materialisme, don hedonisme. Masyarakat menjadi kurang peduli pada serama dan semakin banyak masalah sosial yang terjadi.
Beberapa indikator terjadinya individualisme adalah semangat gotong royong memudar sehingga masyarakat menjadi acuh tak acuh antar sesama dan mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Sedangkan, indikator materialisme meliputi pola pikir bahwa kesuksesan diukur dari kemampuan membeli barang-barang mewah dan mementingkan membeli barang-barang duniawi. Lalu, indikator hedonisme yakni berfoya-foya pada hiburan / barang-barang mewah.
Contoh kasus yang relevan adalah kasus Erina Gudono. Di tengah fenomena “Peringatan Darurat” tahun 2024 silam (dimana masyarakat sedang mendemo pemerintan terkait perubahan aturan untuk maju pilkada), Erina Gudono—istri Kaesang Pangarap justru memamerkan kekayaannya di media sosial. Ia memposing foto menaiki jet pribadi, jalan-jalan ke Amerika, berpose dengan tas branded, hingga makan sepotong roti harga 400 ribu rupiah. Hai ini membuat kemarahan netizen melunjak sebab menunjukkan sikap tak acuh (individualisme) Erina, yang notabene nya seorang
istri politikus terkenal, padahal saat itu masyarakat kelas menengah-bawah sedang berjuang. Sikap Erina ini juga menimbulkan kecurigaan bahwa keluarganya melakukan gratifikasi selama menjabat.
Untuk menanggapi dampak negatif ini, ada hal-hal yang bisa dilakukan:
Individu:
- Memilah informasi yang diterima di media sosial. Memfilter konten tersebut apabila
mempromosikan hedonisme dan individualisme. - Menanamkan nilai Pancasila dalam setiap aksi yang kita perbuat, terutama sila ke-3.
- Meningkatkan empati, membantu sesama yang membutuhkan tanpa pamih.
- Tidak terbawa arus / FOMO terkait hal-hal yang trending.
Masyarakat:
- Meningkatkan kembali semangat gotong royong, terutama dalam lingkungan RT/RW.
- Berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, agar nilai solidaritas berkembang.
Negara :
- Memberi pendidikan moral pada masyarakat tentang pentingnya pesatuan dan tidak mengikuti arus media sosial yang memepromosikan budaya kemewahan.
- Membuat regulasi agar masyarakat lebih mencintai produk lokal dibanding produk luar yang notabene mewah serta mahal.
Ketiga pihak—individual, masyarakat, pemerintah—harus bekerja sama agar dapat menyikapi perkembangan IPTEK dengan baik. Kita harus memanfaatkan teknologi agar memberi dampak positif, bukan negatif. Dengan bersikap selektif, kita bisa meminimalisir dampak negatif yang diberikan, agar pola pikir dan budaya asli kita seperti Pancasila tidak luntur.